MERANTAU SEBAGAI JEMBATAN KONTAK ANTAR BUDAYA
(KONSEKUENSI LINTAS BUDAYA)
(KONSEKUENSI LINTAS BUDAYA)
Delma Wiska
1310741011
1310741011
ABSTRAK
Minangkabau adalah salah satu suku bangsa yang ada di
Indonesia yang memiliki budaya yang khas, berpegang teguh kepada syarak dan
sistem matrilineal. Orang Minangkabau memiliki kebiasaan merantau, yaitu
meninggalkan kampung halaman dengan berbagai tujuan. Merantau menjadi suatu
keharusan yang dilakukan oleh masyarakat Minang, terutama pada kaum laki-laki.
Dengan adanya merantau berbagai konsekuensi akan muncul , konsekuensi ini hadir
karena terjadinya interaksi dan kontak antar budaya yang berbeda. Culture shock adalah salah satu efek
dari adanya kontak antar budaya ini. Bagi perantau Minang efek atau konsekensi
ini bisa saja terjadi, namun perantau Minang biasanya dibekali sebelum pergi
merantau dengan berbagai ilmu (pengetahuan). Salah satu cara untuk menyikapi
agar tidak terjadinya culture shock
adalah penyesuaian diri terhadap lingkungan. Menyesuaikan diri dengan
orang-orang pribumi sangat penting. Penyesuain ini bisa dilakukan dengan
interaksi atau kontak dengan pribumi.
Dengan adanya kontak ini kita akan mengetahui bagaimana kebudayaannya, jika kita
bisa beradaptasi dengan budaya yang mereka miliki tentu akan hidup dalam
keselarasan dan tentram dengan masyarakat pribumi. penyesuaian ini dimiliki
oleh perantau dari pengajaran di surau-surau
saat berada di kampung halaman.
Kata
kunci: kontak antar budaya, konsekuensi,
merantau.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Budaya salah satu aspek yang sangat
penting yang harus dimiliki oleh manusia didalam kelompoknya. Budaya
mempengaruhi tindakan dan kebiasaan individu ataupun kelompok. Budaya
mencangkup pikiran, perilaku, kebiasaan, makanan yang merujuk pada hasilnya.
Pada konsepnya cakupan budaya sangat luas mencangkup semua aspek kehidupan (Tri
Dayakisni dan Salis Yuniardi: 2004:7).
Disetiap negara memiliki budaya yang
berbeda, bahkan disetiap wilayahpun memilki budaya yang berbeda, sehingga setiap
wilayah atau daerah memilki kekhasan tersendiri, begitupun di Indonesia. Sehingga
budaya-budaya yang ada membentuk bermacam ragam warna yang indah. Selain
memiliki budaya yang beragam (multi-budaya) Indonesia memilki multi etnis,
multi-agama dan lainnya. Walaupun berbeda-beda dan beragam, Indonesia disatukan
oleh semboyan “bhineka tunggal ika” inilah
prinsip yang dipegang oleh masyarakat Indonesia.
Keberagaman ini tidak akan jauh dari
konflik dan tantangan, karena keberagaman
menimbulkan perbedaan-perbedaan antar kelompok dan perbedaan ini yang memicu
terjadinya konflik dan pertentangan. Namun, jika suatu kelompok dapat memahami
kelompok yang akan terbentuk kemakmuran dan perdamaian.
Selain budaya, individu membutuhkan orang
lain. Individu tidak bisa hidup sendiri dan sangat membutuhkan orang lain,
karena itulah manusia disebut dengan makhluk sosial. Individu ataupun kelmpok
sangat bergantung pada orang lain dalam hal apapun, contoh kecil saja manusia
membutuhkan pakaian dan ada orang lain yang ahli dalam membuat kapas dan kapas
ini diolah menjadi benang ada pula yang ahli dalam bidang ini, dan benang
akhirnya menjadi kain. Setiap orang tidak bisa mengerjakan hal ini, maka
dibutuhkanlah orang lain.
Menjadi makhluk sosial tentu memerlukan
kontak sosial, interaksi dan komunikasi.
Karena hal inilah yang membuat manusia tahu dengan orang lain dan mengenal
orang lain, budaya orang lain dan sebagainya. Karena interaksi pulalah manusia
menyadari kebergaman dan perbedaan dengan orang lain yang nantinya akan
terjalin keharmonisan ataupun pertentangan antara kelompok yang saling
berinteraksi. Antara budaya, interaksi, komunikasi, keberagaman sangat
berkaitan dan ini semua akan berdampak positif maupun negatif.
Merantau adalah salah satu budaya yang di
miliki oleh masyarakat Minang, merantau telah mendarah daging, sehingga pemuda
wajib merantau. Karena adanya merantau maka akan terjadi interaksi dengan warga
pribumi dengan itu terjadi pulalah kontak antar budaya anatara perantau Minang
dengan pribumi. Dengan adanya kontak ini maka muncullah
konsekuensi-konsekuensi, baik yang positif maupun negatif yang terjadi akibat
dari merantau.
Pada kesempatan ini penulis akan membahas
tentang konsekuensi keberagaman lintas budaya, efek bagi perantau Minangkabau.
Dengan adanya kebergaman budaya terdapat konsekuensi yang akan dialami oleh
masyarakat yang melakukan interaksi dan kontak sosial dengan masyarakat lainya.
Tujuan dari tulisan ini ialah menjelaskan dan mengetahui konsekuensi
keberagaman lintas budaya, efek bagi perantau Minangkabau. Dengan adanya
tulisan ini, penulis berharap tulisan ini dapat bermanfaat bagi masyarakat,
mahasiswa, khususnya pada penulis sendiri.
PEMBAHASAN
Culture shock yaitu gangguan mental yang
dialami oleh orang-orang yang berada dalam budaya baru. Keadaan ini membuat
orang yang mengalami culture shock frustasi dan sejenisnya. Keadaan ini terjadi
karena seseorang dahulunya menutup dirinya untuk berkenalan dengan budaya lain,
sehingga saat baru menemui budaya baru mereka terkejut dan mengalami gangguan
karena tidak terbiasa pada budaya yang baru mereka kenali tersebut. (Tri
Dayakisni dan Salis Yuniardi: 2004:360)
Menurut Tri Dayakisni dan Salis Yuniardi
dalam bukunya Psikologi Lintas Budaya terjadinya culture shock biasanya dipicu oleh salah satu atau lebih dari tiga
penyebab berikut ini:
1. Kehilangan cues atau tanda-tanda yang dikenalnyapadahal cues adalah bagian dari kehidupan sehari-hari, seperti tanda-tanda,
gerakan bagian-bagian tubuh (gestures),
ekspresi wajah ataupun kebiasaan-kebiasaan yang dapat menceritakan kepada
seseorang bagaimana sebaiknya bertindak dalam situasi-situasi tertentu.
2. Putusnya komunikasi antara pribadi baik
pada tingkat yang disadari yang mengarahkan pada frustasi dan kecemasan.
Halangan bahasa adalah penyebab jelas dari gangguan –gangguan ini.
3. Krisis identitas, denga pergi keluar negeri seseorang akan
kembali mengevaluasi gambaran tentang dirinya.
Karatau madang di hulu
Babuah babungo balun;
Marantau bujang dahulu
Di rumah baguno balun
(Ibrahim Dt.Sanggoeno Diradjo:2013:63).
Mamangan diatas adalah mamangan adat
marantau orang minang, dimana pemuda (bujang) dalam masyarakat Minangkabau
diharuskan untuk pergi merantau, sesuai dengan mamangan diatas bahwa seorang
bujang di rumah baguno balun . Menurut Tsuyushi Kato istilah merantau
berarti meninggalkan kampung halaman atau meninggalkan tanah kelahiran. Yang
berarti menetap di daerah orang lain yang jauh dari kampung halaman, hal ini
memerlukan penyesuain terhadap budaya daerah setempat. Masyarakat minang yang
merantau hal pertama yang meraka cari
ialah induak samang sesuai dengan
pantun berikut:
Iyu beli belanak beli
Ikan panjang beli dahulu
Ibu cari dunsanak cari
Induk samang cari dahulu (Sjafnir An DT.Kando Marajo:2006:136).
Pada masyarakat Minangkabau yang merantau
tentu ada kemungkinan mengalami culture
shock, hal ini bisa dilihat pada
lirik lagu-lagu minang salah satunya
lagu yang berjudul “Merak Bangkahuni”
Di ateh kapa nan sadang balayia
Denai manangih mangatai diri
Karantau urang bukannyo denai bagadang hati
Di kampuang salamo ko oi dunsanak hati den ibo
Denai manangih mangatai diri
Karantau urang bukannyo denai bagadang hati
Di kampuang salamo ko oi dunsanak hati den ibo
Antaro Merak jo Bangkahuni
Antaro sabak jo gadang hati
Den tinggakan kampuang nan denai cinto
Dek arok ka batuka untuang jo parasaian
Antaro sabak jo gadang hati
Den tinggakan kampuang nan denai cinto
Dek arok ka batuka untuang jo parasaian
Ujuangnyo Lampuang di Martapura
Oi Mandeh kanduang tolong jo doa
Denai dirantau bukannyo sanang
Manyambuang hiduik nan tabangkalai
Oi Mandeh kanduang tolong jo doa
Denai dirantau bukannyo sanang
Manyambuang hiduik nan tabangkalai
Bialah kanji bacampua luo
Dimakan urang di bawah talang
Bialah kini hati den ibo
Untuang kok isuak lai kasanang
Dimakan urang di bawah talang
Bialah kini hati den ibo
Untuang kok isuak lai kasanang
Lagu ini populer pada masanya di era
90-an. Lagu ini menjelaskan bahwa salah satu tujuan merantau adalah mengubah
nasib atau menyambung hidup seperti yang dijelaskan dalam lirik Manyambuang hiduik nan tabangkalai. Dalam
lirik lagu ini juga menjelaskan keharusan untuk merantau, selain itu merantau
bukan sesuatu hal yang menyenangkan dan terjadinya culture shock juga dijelaskan pada lirik lagu berikut Denai manangih mangatai diri, Karantau urang
bukannyo denai bagadang hati, Denai dirantau bukannyo sanang, dan Bialah kini hati den ibo, karena ke-ibo-an (kesedihan) hati yang
berlarut-larut dan penyesuaian yang kurang terhadap tuan rumah didaerah yang
ditepati gangguan-ganguan frustasi akan muncul.
Namun, dalam adat Minangkabau diajarkan
bagaimana menyusaikan terhadap daerah
yang kita tempati, sesuai dengan mamangan:
Kok manyauak di hilie-hilie .
Kok mangecek dibawah-bawah
Tibo dikandang kambiang mambebek
Tibo dikandang kabau manguak
Dima bumi di pijak
Disitu langik di junjuang
Mamangan tersebut menjelaskan dimana kita berada, kita harus
bisa menyesuaikan diri dan mengikuti aturan yang ada, namun tidak mengubah
budaya yang telah tertanam dalam dirinya. Pada orang minang yang
merantau kemungkinan culture shock terjadi
tidak begitu lama hal ini terlihat pada ungkapan :
Duo
hari den co urang andia disiko
Cukuik
hari katigo ang bisa den jua ma
Ungkapan
diatas juga menjelaskankan bahwa orang
minang yang merantau hanya beberapa hari terlihat bodoh, setelah mengetahui tentang
daerah itu ia akan bisa sukses dari orang pribumi.
Menyesuaikan
diri dengan orang-orang pribumi sangat penting. Penyesuain ini bisa dilakukan
dengan interaksi atau kontak dengan
pribumi. Dengan adanya kontak ini kita akan mengetahui bagaimana kebudayaannya,
jika kita bisa beradaptasi dengan budaya yang mereka miliki tentu akan hidup
dalam keselaran dan tentram dengan masyarakat pribumi. Namun, ada beberapa
kemungkinan jika ada budaya baru ada dalam lingkungan kita:
1. Ada masyarakat yang menerima
mentah-mentah budaya yang baru masuk dalam kehidupannya.
2. Memfilter atau menyaring kebudayaan
tersebut, memilah-milah mana yang baik diambil dan yang buruk atau tidak pantas
(tidak sejalan dengan budayanya) mereka buang.
3. Menutup diri dan tidak mau menerima
kebudayaan baru manapun.
Jika melihat keadaan dari penjelasan
diatas, dalam masyarakat Minangkabau juga akan hadir ketiga poin diatas.
Mengapa demikian? Karena dalam setiap individu berbeda-beda dalam menanggapi hal
yang baru tersebut. Contoh sederhananya, seseorang yang pergi merantau ke kota
bisa saja masuk dalam ranah kegelapanyang dahulu tidak ada di kampungnya,namun bagi yang memilki pegangan kuat tentu tidak
akan tergoyah dengan hal yang demikian.
Selanjutnya dari penjelasan diatas kemungkinan
terbesar yang akan mengalami culture
shock yaitu yang nomor 3. Karena disaat mereka berada dalam kelompok
mayoritas yang memiliki budaya yang berbeda , mereka akan sulit menyesuaikan
diri sehingga mereka mengalami gangguan. Menurut Furnham dan Bochner, untuk mengatasi
ini individu diperlukan belajar dan beradaptasi dengan masyarakakat baru,
sehingga individi bisa bertingah laku dan berkomunikasi dengan baik.
Culture shock tidak bisa dihindari bagi orang-orang yang tidak
bisa menyesuaikan diri. Berinteraksi adalah salah satu cara mencari penyesuain
dengan pribumi, berinteraksi tentu menggunakan bahasa yang sopan dan santun
agar tidak melukai hati lawan bicara, sesuai dengan nasehat berikut:
Kok pai anak marantau
Mandilah di bawah-bawah
Manyauak di ilia-ilia
Nasehat ini sebagai bekal bagi perantau,
berbekal dengan nasehat sebagai pedoman lebih baik dari bekal materi (Sjafnir
An DT.Kando Marajo:2006:137).
Interaksi
yang dilakukan perantau belum tentu
membuat hubungannya berjalan baik dengan pribumi. Melakukan interaksi tentu
juga melakukan kontak antar budaya, dengan adanya kontak antar budaya dalam hal
merantau akan memunculkan konsekuendi-konsekuensi yang harus diterima oleh
pihak yang melakukan kontak antar budaya. Hubungan yang dilakukan dengan budaya
yang lain sangat sulit dijalani. Melakukan kontak antar budaya memerlukan
pengetahuan kita tentang identitas baik secara fisik, amaterial maupun non
material, sehingga kontak yang dilakukan terjalin secara harmonis (Liliweri
Alo: 2002:94).
Selain itu, kontak antar budaya bisa
membuat seseorang kehilangan akar budaya, merusak kemampuan seseorang,
mengakibatkan culture shocks, dan ada
pula meningkatkan kesehatan mental seseorang.
Yang menentukan berhasil atau tidaknya hubungan antar budaya yaitu
individu atau kelompok yang bersangkutan dengan menentukan seberapa pandainya
mereka menyesuaikan diri dan memiliki skil atau pengetahuan tentang kebudayaan
orang lain yang kita tempati (pribumi).
Konsekuensi yang didapati dengan adanya
kontak antar budaya bagi perantau minang bisa dilihat dalam karya sastra,
seperti novel minang yang berjudul Mengurai
Rindu karya Nang Syamsudin. Dalam novel Mengurai
Rindu terlihat bagaimana efek atau konsekuensi yang harus diterima oleh
perantau minang, seperti kurang pedulinya perantau terhadap rumah gadang
kaumnya, kurang pedulinya perantau dengan penerus panghulu sukunya, dan
hilangnya nilai dan norma yang telah dipelajari di kampung halamannya. Hal ini
bisa dilihat dari penjelasan dalam novel, yang berbunyi:
“Lebaran telah lama berlalu. Kunjungan ke kampung makin jarang. Orang rantau
hanya menelepon kalau ingin tahu kabar dari kampung. Rumah Gadang masih
tetap
tinggal puing-puing. Penghulu barupun belum
diangkat.”
Menurut Tri Dayakisni dalam bukunya
Psikologi Lintas Budaya, perusahaan-perusahaan multinasional dan internasional,
politik, korp diplomatik dan sejenisnya dapat membantu dalam mengefektifkan
kontak antar budaya dan melakukan seleksi
serta melatih dalam hubungan antar budaya. Orang minang terkenal dengan
perdagangannnya, dalam hubungan kontak budaya orang minang juga terkenal dengan
keramahannya dalam berdagang sehingga interaksi antara orang minang dengan
orang lain berjalan dengan baik. Jadi
bisa dikatakan bahwa orang Minang bisa melakukan kontak antar budaya dengan
baik melalui peran berdagangan mereka.
Bagi perantau Minang, sebelum pergi
merantau dibekali terlebih dahulu oleh
guru-guru silat meraka. Yang dibekali bukan hanya ilmu silat saja tapi syarak, adat
dan lainnya. Pengajaran tentang adat dan syarak ini dilakukan di surau-surau
dan dibimbing oleh guru. Pengajaran ini akan berguna oleh murid salah satunya
untuk modal pergi merantau. Siap atau tidaknya seseorang pergi merantau dapat
ditentukan oleh gurunya. Hal ini bisa dilihat pula dalam novel-novel yang
berbau Minangkabau, seperti dalam novel Cindaku.
Pada awal ceritanya, Salim ingin pergi
merantau, namun gurunya Pandeka Sutan melihat bahwa Salim belum pantas untuk
merantau, karena ilmu belum mencukupi sebagai bekal bagi Salim untuk pergi
merantau. Ilmu bela dirinya dalam beberapa jurus masih belum sempurna. Ilmu
dalam bidang agama baru cukup untuk dirinya saja dan begitupun pemahamannnya
tentang adat dan masyarakat baru sekedar pelepas jawab saja. Berikut beberapa
kutipan dialog pada novel Cindaku:
“Salim.., kau masih punya waktu untuk mematangkan
dirimu, tak akan terlambat setahun, dua tahun ini kau cukupkan dulu bekal untuk
pergi merantau,” Pendeka Sutan mulai berkompromi.
“ke rantau, jangan hanya sekedar merantau Salim,
rantau adalah medan pertarungan hidup dan mati. Bagi seorang petarung tentu dia
tidak ingin menjadi pecundang, dia harus memenangkan pertarungan. Sekali
melangkah ke medan juang pantang mundur ke belakang, sekali layar terkembang,
pantang kembali pulang sebelum kita yang menang,” jelas Pandeka Sutan mengulangi kata-kata
yang sering diucapkannya kepad murid-muridnya.
“Salim .. untuk memenagkan pertarungan tentu butuh
persiapan, butuh latihan, begitupun pergi merantau. Salim kau harus punya bekal
yang cukup agar tidak kalah dalam pertempuran hidup dan mati itu,” Pandeka Sutan semakin berapi-api.....
“setahun ini tetaplah kau di surau ini, kita
mengulang-ulang lagi pelajaran kita,” Kata Pendeka Sutan memberi keputusan akan pilihan
Salim.
Jadi, dapat dilihat bahwa peran guru
sangat berpengaruh terhadap pemuda Minang (murid) untuk merantau. Murid akan
patuh dengan nasehat dan keputusan yang
diberikan gurunya, dan seorang guru bertanggung jawab kalau terjadi hal-hal
yang tidak diinginkan dalam kehidupan anak didiknya. Kepatuhan seorang murid
dan guru yang bertanggung jawab menjadi salah satu tauladan yang ada dan
berkembang di Minangkabau sejak dahulunya. Pendidikan di surau sangat penting
dan sebagai wadah pembekalan untuk pemuda Minangkabau menghadapi dunia luar,
sehingga kesiapan yang matang untuk merantau juga dapat mengefektifkan dan
melatih hubungan kontak antar budaya.
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam melakukan sesuatu pasti akan ada
konsekuensi yang harus dijalani, begitupun melakukan hubungan kontak antar
budaya juga memiliki konsekuensi. Konsekuensi yang diterima bukan hanya berupa
hal-hal negatif saja, hal-hal positif juga akan hadir jika kita pandai dalam
melakun kontak dengan baik. Konsekuensi ini juga akan dirasakan oleh orang Minang
yang suka merantau dan yang melakukan kontak antar budaya.
Hal-hal negatif yang terjadi seperti:
Culture shock atau stress akulturatif, kehilangan akar budaya, dan sebagainya. Sering
pula kontak budaya memberikan peluang besar bagi seseorang dalam bidangnya
(meraih keuntungan besar dari adanya kontak budaya karena keahliannya) dan ada
juga memberikan kesehatan mental.
Untuk menghindari terjadinya hal negatif
ini seseorang butuh skill untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat dengan
kebudayaan lain. Pihak-pihak yang bisa mengefektifkan serta melatih dalam
hubungan antar budaya, seperti
perusahaan-perusahaan,korp diplomatik dan lainnya.
Kritik dan Saran
Dengan
adanya tulisan ini semoga ada penelitian lebih lanjut mengenai topik ini.
Penulis menyadari dalam tulisan ini terdapat banyak kesalahan , baik dalm
penyusunan maupun
penulisan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun agar sempurnanya makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Alo, Liliweri. 2002. Makna Budaya dalam Komunikasi antar Budaya. Yogyakarta: PT.LkiS
Pelangi Aksara.
An, Sjafnir. 2006. Sirih Pinang Adat Minangkabau: Pengetahuan Adat Minangkabau
Tematis. Padang: Sentra Budaya.
Dayakisni, Tri danSalis Yuniardi. 2004. Psikologi Lintas Budaya. Malang: UMM
Press.
Ibrahim. 2013. Tambo
Alam Minangkabau Tatanan Adat Warisan Nenek Moyang Orang
Minang. Bukitinggi: Kristal Multimedia.
Kato, Tsuyoshi. 2005. Adat Minangkabau dan Merantau dalam Perspektif Sejarah. Jakarta:
Balai Pustaka.
Malaka, Sutan Azwar. 2015. Cindaku. KAKILANGIT KENCANA.
Naim, Mochtar. 1984. Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta: GADJAH
MADA UNIVERSITY PRESS.
Syamsuddin, Nang. 2012. Mengurai Rindu.Yogyakarta: Rahima
Intermedia Publishing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar