HOME

Sabtu, 23 Januari 2016

MERANTAU SEBAGAI JEMBATAN KONTAK ANTAR BUDAYA (KONSEKUENSI LINTAS BUDAYA)



MERANTAU SEBAGAI JEMBATAN KONTAK ANTAR BUDAYA
(KONSEKUENSI LINTAS BUDAYA)
Delma Wiska
1310741011
ABSTRAK
Minangkabau adalah salah satu suku bangsa yang ada di Indonesia yang memiliki budaya yang khas, berpegang teguh kepada syarak dan sistem matrilineal. Orang Minangkabau memiliki kebiasaan merantau, yaitu meninggalkan kampung halaman dengan berbagai tujuan. Merantau menjadi suatu keharusan yang dilakukan oleh masyarakat Minang, terutama pada kaum laki-laki. Dengan adanya merantau berbagai konsekuensi akan muncul , konsekuensi ini hadir karena terjadinya interaksi dan kontak antar budaya yang berbeda. Culture shock adalah salah satu efek dari adanya kontak antar budaya ini. Bagi perantau Minang efek atau konsekensi ini bisa saja terjadi, namun perantau Minang biasanya dibekali sebelum pergi merantau dengan berbagai ilmu (pengetahuan). Salah satu cara untuk menyikapi agar tidak terjadinya culture shock adalah penyesuaian diri terhadap lingkungan. Menyesuaikan diri dengan orang-orang pribumi sangat penting. Penyesuain ini bisa dilakukan dengan interaksi atau  kontak dengan pribumi. Dengan adanya kontak ini kita akan mengetahui bagaimana kebudayaannya, jika kita bisa beradaptasi dengan budaya yang mereka miliki tentu akan hidup dalam keselarasan dan tentram dengan masyarakat pribumi.  penyesuaian ini dimiliki oleh perantau dari pengajaran di surau-surau saat berada di kampung halaman.
Kata kunci: kontak antar budaya, konsekuensi, merantau.

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Budaya salah satu aspek yang sangat penting yang harus dimiliki oleh manusia didalam kelompoknya. Budaya mempengaruhi tindakan dan kebiasaan individu ataupun kelompok. Budaya mencangkup pikiran, perilaku, kebiasaan, makanan yang merujuk pada hasilnya. Pada konsepnya cakupan budaya sangat luas mencangkup semua aspek kehidupan (Tri Dayakisni dan Salis Yuniardi: 2004:7).
Disetiap negara memiliki budaya yang berbeda, bahkan disetiap wilayahpun memilki budaya yang berbeda, sehingga setiap wilayah atau daerah memilki kekhasan tersendiri, begitupun di Indonesia. Sehingga budaya-budaya yang ada membentuk bermacam ragam warna yang indah. Selain memiliki budaya yang beragam (multi-budaya) Indonesia memilki multi etnis, multi-agama dan lainnya. Walaupun berbeda-beda dan beragam, Indonesia disatukan oleh semboyan “bhineka tunggal ika” inilah prinsip yang dipegang oleh masyarakat Indonesia.
Keberagaman ini tidak akan jauh dari konflik dan tantangan, karena  keberagaman menimbulkan perbedaan-perbedaan antar kelompok dan perbedaan ini yang memicu terjadinya konflik dan pertentangan. Namun, jika suatu kelompok dapat memahami kelompok yang akan terbentuk kemakmuran dan perdamaian.
Selain budaya, individu membutuhkan orang lain. Individu tidak bisa hidup sendiri dan sangat membutuhkan orang lain, karena itulah manusia disebut dengan makhluk sosial. Individu ataupun kelmpok sangat bergantung pada orang lain dalam hal apapun, contoh kecil saja manusia membutuhkan pakaian dan ada orang lain yang ahli dalam membuat kapas dan kapas ini diolah menjadi benang ada pula yang ahli dalam bidang ini, dan benang akhirnya menjadi kain. Setiap orang tidak bisa mengerjakan hal ini, maka dibutuhkanlah orang lain.
Menjadi makhluk sosial tentu memerlukan kontak sosial,  interaksi dan komunikasi. Karena hal inilah yang membuat manusia tahu dengan orang lain dan mengenal orang lain, budaya orang lain dan sebagainya. Karena interaksi pulalah manusia menyadari kebergaman dan perbedaan dengan orang lain yang nantinya akan terjalin keharmonisan ataupun pertentangan antara kelompok yang saling berinteraksi. Antara budaya, interaksi, komunikasi, keberagaman sangat berkaitan dan ini semua akan berdampak positif maupun  negatif.
Merantau adalah salah satu budaya yang di miliki oleh masyarakat Minang, merantau telah mendarah daging, sehingga pemuda wajib merantau. Karena adanya merantau maka akan terjadi interaksi dengan warga pribumi dengan itu terjadi pulalah kontak antar budaya anatara perantau Minang dengan pribumi. Dengan adanya kontak ini maka muncullah konsekuensi-konsekuensi, baik yang positif maupun negatif yang terjadi akibat dari merantau.
Pada kesempatan ini penulis akan membahas tentang konsekuensi keberagaman lintas budaya, efek bagi perantau Minangkabau. Dengan adanya kebergaman budaya terdapat konsekuensi yang akan dialami oleh masyarakat yang melakukan interaksi dan kontak sosial dengan masyarakat lainya. Tujuan dari tulisan ini ialah menjelaskan dan mengetahui konsekuensi keberagaman lintas budaya, efek bagi perantau Minangkabau. Dengan adanya tulisan ini, penulis berharap tulisan ini dapat bermanfaat bagi masyarakat, mahasiswa, khususnya pada penulis sendiri.
PEMBAHASAN
Culture shock yaitu gangguan mental yang dialami oleh orang-orang yang berada dalam budaya baru. Keadaan ini membuat orang yang mengalami culture shock frustasi dan sejenisnya. Keadaan ini terjadi karena seseorang dahulunya menutup dirinya untuk berkenalan dengan budaya lain, sehingga saat baru menemui budaya baru mereka terkejut dan mengalami gangguan karena tidak terbiasa pada budaya yang baru mereka kenali tersebut. (Tri Dayakisni dan Salis Yuniardi: 2004:360)
Menurut Tri Dayakisni dan Salis Yuniardi dalam bukunya Psikologi Lintas Budaya terjadinya culture shock biasanya dipicu oleh salah satu atau lebih dari tiga penyebab berikut ini:
1.      Kehilangan cues atau tanda-tanda yang dikenalnyapadahal cues adalah bagian dari kehidupan sehari-hari, seperti tanda-tanda, gerakan bagian-bagian tubuh (gestures), ekspresi wajah ataupun kebiasaan-kebiasaan yang dapat menceritakan kepada seseorang bagaimana sebaiknya bertindak dalam situasi-situasi tertentu.
2.      Putusnya komunikasi antara pribadi baik pada tingkat yang disadari yang mengarahkan pada frustasi dan kecemasan. Halangan bahasa adalah penyebab jelas dari gangguan –gangguan ini.
3.      Krisis identitas,  denga pergi keluar negeri seseorang akan kembali mengevaluasi gambaran tentang dirinya.
Karatau madang di hulu
Babuah babungo balun;
Marantau bujang dahulu
Di rumah baguno balun
(Ibrahim Dt.Sanggoeno Diradjo:2013:63).
Mamangan diatas adalah mamangan adat marantau orang minang, dimana pemuda (bujang) dalam masyarakat Minangkabau diharuskan untuk pergi merantau, sesuai dengan mamangan diatas bahwa seorang bujang  di rumah baguno balun . Menurut Tsuyushi Kato istilah merantau berarti meninggalkan kampung halaman atau meninggalkan tanah kelahiran. Yang berarti menetap di daerah orang lain yang jauh dari kampung halaman, hal ini memerlukan penyesuain terhadap budaya daerah setempat. Masyarakat minang yang merantau  hal pertama yang meraka cari ialah induak samang sesuai dengan pantun berikut:
Iyu beli belanak beli
Ikan panjang beli dahulu
Ibu cari dunsanak cari
Induk samang cari dahulu (Sjafnir An DT.Kando Marajo:2006:136).
Pada masyarakat Minangkabau yang merantau tentu ada kemungkinan mengalami culture shock, hal ini bisa  dilihat pada lirik  lagu-lagu minang salah satunya lagu yang berjudul “Merak Bangkahuni”
Di ateh kapa nan sadang balayia
Denai manangih mangatai diri
Karantau urang bukannyo denai bagadang hati
Di kampuang salamo ko oi dunsanak hati den ibo
Antaro Merak jo Bangkahuni
Antaro sabak jo gadang hati
Den tinggakan kampuang nan denai cinto
Dek arok ka batuka untuang jo parasaian
Ujuangnyo Lampuang di Martapura
Oi Mandeh kanduang tolong jo doa
Denai dirantau bukannyo sanang
Manyambuang hiduik nan tabangkalai
Bialah kanji bacampua luo
Dimakan urang di bawah talang
Bialah kini hati den ibo
Untuang kok isuak lai kasanang

Lagu ini populer pada masanya di era 90-an. Lagu ini menjelaskan bahwa salah satu tujuan merantau adalah mengubah nasib atau menyambung hidup seperti yang dijelaskan dalam lirik Manyambuang hiduik nan tabangkalai. Dalam lirik lagu ini juga menjelaskan keharusan untuk merantau, selain itu merantau bukan sesuatu hal yang menyenangkan dan terjadinya culture shock juga dijelaskan pada lirik lagu berikut Denai manangih mangatai diri, Karantau urang bukannyo denai bagadang hati, Denai dirantau bukannyo sanang, dan Bialah kini hati den ibo, karena ke-ibo-an (kesedihan) hati yang berlarut-larut dan penyesuaian yang kurang terhadap tuan rumah didaerah yang ditepati gangguan-ganguan frustasi akan muncul.
Namun, dalam adat Minangkabau diajarkan bagaimana menyusaikan  terhadap daerah yang kita tempati, sesuai dengan mamangan:
Kok manyauak di hilie-hilie .
Kok mangecek dibawah-bawah
Tibo dikandang kambiang  mambebek
Tibo dikandang kabau manguak
Dima bumi di pijak
Disitu langik di junjuang
Mamangan tersebut menjelaskan dimana kita berada, kita harus bisa menyesuaikan diri dan mengikuti aturan yang ada, namun tidak mengubah budaya yang telah tertanam dalam dirinya. Pada orang minang yang merantau kemungkinan culture shock terjadi tidak begitu lama hal ini terlihat pada ungkapan :
Duo hari den co urang andia disiko
Cukuik hari katigo ang bisa den jua ma
Ungkapan diatas juga  menjelaskankan bahwa orang minang yang merantau hanya beberapa hari terlihat bodoh, setelah mengetahui tentang daerah itu ia akan bisa sukses dari orang pribumi.
            Menyesuaikan diri dengan orang-orang pribumi sangat penting. Penyesuain ini bisa dilakukan dengan interaksi atau  kontak dengan pribumi. Dengan adanya kontak ini kita akan mengetahui bagaimana kebudayaannya, jika kita bisa beradaptasi dengan budaya yang mereka miliki tentu akan hidup dalam keselaran dan tentram dengan masyarakat pribumi.  Namun, ada beberapa kemungkinan jika ada budaya baru ada dalam lingkungan kita:
1.      Ada masyarakat yang menerima mentah-mentah budaya yang baru masuk dalam kehidupannya.
2.      Memfilter atau menyaring kebudayaan tersebut, memilah-milah mana yang baik diambil dan yang buruk atau tidak pantas (tidak sejalan dengan budayanya) mereka buang.
3.      Menutup diri dan tidak mau menerima kebudayaan baru manapun.
Jika melihat keadaan dari penjelasan diatas, dalam masyarakat Minangkabau juga akan hadir ketiga poin diatas. Mengapa demikian? Karena dalam setiap individu berbeda-beda dalam menanggapi hal yang baru tersebut. Contoh sederhananya, seseorang yang pergi merantau ke kota bisa saja masuk dalam ranah kegelapanyang dahulu tidak ada di kampungnya,namun  bagi yang memilki pegangan kuat tentu tidak akan tergoyah dengan hal yang demikian.
Selanjutnya dari penjelasan diatas kemungkinan terbesar yang akan mengalami culture shock yaitu yang nomor 3. Karena disaat mereka berada dalam kelompok mayoritas yang memiliki budaya yang berbeda , mereka akan sulit menyesuaikan diri sehingga mereka mengalami gangguan. Menurut Furnham dan Bochner, untuk mengatasi ini individu diperlukan belajar dan beradaptasi dengan masyarakakat baru, sehingga individi bisa bertingah laku dan berkomunikasi dengan baik.
Culture shock tidak bisa dihindari bagi orang-orang yang tidak bisa menyesuaikan diri. Berinteraksi adalah salah satu cara mencari penyesuain dengan pribumi, berinteraksi tentu menggunakan bahasa yang sopan dan santun agar tidak melukai hati lawan bicara, sesuai dengan nasehat berikut:
Kok pai anak marantau
Mandilah di bawah-bawah
Manyauak di ilia-ilia      
Nasehat ini sebagai bekal bagi perantau, berbekal dengan nasehat sebagai pedoman lebih baik dari bekal materi (Sjafnir An DT.Kando Marajo:2006:137).
            Interaksi yang dilakukan perantau  belum tentu membuat hubungannya  berjalan  baik dengan pribumi. Melakukan interaksi tentu juga melakukan kontak antar budaya, dengan adanya kontak antar budaya dalam hal merantau akan memunculkan konsekuendi-konsekuensi yang harus diterima oleh pihak yang melakukan kontak antar budaya. Hubungan yang dilakukan dengan budaya yang lain sangat sulit dijalani. Melakukan kontak antar budaya memerlukan pengetahuan kita tentang identitas baik secara fisik, amaterial maupun non material, sehingga kontak yang dilakukan terjalin secara harmonis (Liliweri Alo: 2002:94).
Selain itu, kontak antar budaya bisa membuat seseorang kehilangan akar budaya, merusak kemampuan seseorang, mengakibatkan culture shocks, dan ada pula meningkatkan kesehatan mental seseorang.  Yang menentukan berhasil atau tidaknya hubungan antar budaya yaitu individu atau kelompok yang bersangkutan dengan menentukan seberapa pandainya mereka menyesuaikan diri dan memiliki skil atau pengetahuan tentang kebudayaan orang lain yang kita tempati (pribumi).
Konsekuensi yang didapati dengan adanya kontak antar budaya bagi perantau minang bisa dilihat dalam karya sastra, seperti novel minang yang berjudul Mengurai Rindu karya Nang Syamsudin. Dalam novel Mengurai Rindu terlihat bagaimana efek atau konsekuensi yang harus diterima oleh perantau minang, seperti kurang pedulinya perantau terhadap rumah gadang kaumnya, kurang pedulinya perantau dengan penerus panghulu sukunya, dan hilangnya nilai dan norma yang telah dipelajari di kampung halamannya. Hal ini bisa dilihat dari penjelasan dalam novel, yang berbunyi:
“Lebaran telah lama berlalu. Kunjungan ke kampung makin jarang. Orang rantau
hanya menelepon kalau ingin tahu kabar dari kampung. Rumah Gadang masih tetap
tinggal puing-puing. Penghulu barupun belum diangkat.”
Menurut Tri Dayakisni dalam bukunya Psikologi Lintas Budaya, perusahaan-perusahaan multinasional dan internasional, politik, korp diplomatik dan sejenisnya dapat membantu dalam mengefektifkan kontak antar budaya dan melakukan seleksi  serta melatih dalam hubungan antar budaya. Orang minang terkenal dengan perdagangannnya, dalam hubungan kontak budaya orang minang juga terkenal dengan keramahannya dalam berdagang sehingga interaksi antara orang minang dengan orang lain berjalan dengan baik.  Jadi bisa dikatakan bahwa orang Minang bisa melakukan kontak antar budaya dengan baik melalui peran berdagangan mereka.
Bagi perantau Minang, sebelum pergi merantau dibekali  terlebih dahulu oleh guru-guru silat meraka. Yang dibekali bukan hanya ilmu silat saja tapi syarak, adat dan lainnya. Pengajaran tentang adat dan syarak ini dilakukan di surau-surau dan dibimbing oleh guru. Pengajaran ini akan berguna oleh murid salah satunya untuk modal pergi merantau. Siap atau tidaknya seseorang pergi merantau dapat ditentukan oleh gurunya. Hal ini bisa dilihat pula dalam novel-novel yang berbau Minangkabau, seperti dalam novel Cindaku. Pada awal ceritanya,  Salim ingin pergi merantau, namun gurunya Pandeka Sutan melihat bahwa Salim belum pantas untuk merantau, karena ilmu belum mencukupi sebagai bekal bagi Salim untuk pergi merantau. Ilmu bela dirinya dalam beberapa jurus masih belum sempurna. Ilmu dalam bidang agama baru cukup untuk dirinya saja dan begitupun pemahamannnya tentang adat dan masyarakat baru sekedar pelepas jawab saja. Berikut beberapa kutipan dialog pada novel Cindaku:
“Salim.., kau masih punya waktu untuk mematangkan dirimu, tak akan terlambat setahun, dua tahun ini kau cukupkan dulu bekal untuk pergi merantau,” Pendeka Sutan mulai berkompromi.
“ke rantau, jangan hanya sekedar merantau Salim, rantau adalah medan pertarungan hidup dan mati. Bagi seorang petarung tentu dia tidak ingin menjadi pecundang, dia harus memenangkan pertarungan. Sekali melangkah ke medan juang pantang mundur ke belakang, sekali layar terkembang, pantang kembali pulang sebelum kita yang menang,” jelas Pandeka Sutan mengulangi kata-kata yang sering diucapkannya kepad murid-muridnya.
“Salim .. untuk memenagkan pertarungan tentu butuh persiapan, butuh latihan, begitupun pergi merantau. Salim kau harus punya bekal yang cukup agar tidak kalah dalam pertempuran hidup dan mati itu,” Pandeka Sutan semakin berapi-api.....
“setahun ini tetaplah kau di surau ini, kita mengulang-ulang lagi pelajaran kita,” Kata Pendeka Sutan memberi keputusan akan pilihan Salim.
Jadi, dapat dilihat bahwa peran guru sangat berpengaruh terhadap pemuda Minang (murid) untuk merantau. Murid akan patuh dengan  nasehat dan keputusan yang diberikan gurunya, dan seorang guru bertanggung jawab kalau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dalam kehidupan anak didiknya. Kepatuhan seorang murid dan guru yang bertanggung jawab menjadi salah satu tauladan yang ada dan berkembang di Minangkabau sejak dahulunya. Pendidikan di surau sangat penting dan sebagai wadah pembekalan untuk pemuda Minangkabau menghadapi dunia luar, sehingga kesiapan yang matang untuk merantau juga dapat mengefektifkan dan melatih hubungan kontak antar budaya.


PENUTUP
Kesimpulan
Dalam melakukan sesuatu pasti akan ada konsekuensi yang harus dijalani, begitupun melakukan hubungan kontak antar budaya juga memiliki konsekuensi. Konsekuensi yang diterima bukan hanya berupa hal-hal negatif saja, hal-hal positif juga akan hadir jika kita pandai dalam melakun kontak dengan baik. Konsekuensi ini juga akan dirasakan oleh orang Minang yang suka merantau dan yang melakukan kontak antar budaya.
Hal-hal negatif yang terjadi seperti: Culture shock atau stress akulturatif, kehilangan akar budaya, dan sebagainya. Sering pula kontak budaya memberikan peluang besar bagi seseorang dalam bidangnya (meraih keuntungan besar dari adanya kontak budaya karena keahliannya) dan ada juga  memberikan kesehatan mental.
Untuk menghindari terjadinya hal negatif ini seseorang butuh skill untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat dengan kebudayaan lain. Pihak-pihak yang bisa mengefektifkan serta melatih dalam hubungan antar budaya, seperti  perusahaan-perusahaan,korp diplomatik dan lainnya.
Kritik dan Saran
Dengan adanya tulisan ini semoga ada penelitian lebih lanjut mengenai topik ini. Penulis menyadari dalam tulisan ini terdapat banyak kesalahan , baik dalm penyusunan maupun penulisan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun agar sempurnanya makalah ini.


DAFTAR PUSTAKA

Alo, Liliweri. 2002. Makna Budaya dalam Komunikasi antar Budaya. Yogyakarta: PT.LkiS
Pelangi Aksara.
An, Sjafnir. 2006. Sirih Pinang Adat Minangkabau: Pengetahuan Adat Minangkabau
Tematis. Padang: Sentra Budaya.
Dayakisni, Tri danSalis Yuniardi. 2004. Psikologi Lintas Budaya. Malang: UMM Press.
Ibrahim. 2013. Tambo Alam Minangkabau Tatanan Adat Warisan Nenek Moyang Orang
Minang. Bukitinggi: Kristal Multimedia.
Kato, Tsuyoshi. 2005. Adat Minangkabau dan Merantau dalam Perspektif Sejarah. Jakarta:
Balai Pustaka.
Malaka, Sutan Azwar. 2015. Cindaku. KAKILANGIT KENCANA.
Naim, Mochtar. 1984. Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau.  Yogyakarta: GADJAH
MADA UNIVERSITY PRESS.
Syamsuddin, Nang. 2012. Mengurai Rindu.Yogyakarta: Rahima Intermedia Publishing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar